DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu.
Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan berfikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991).
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara bersamaan.
Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S – R yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya.
Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah adalah sama dengan kehilangan sesuatu yang penting.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Jadi hubungan S – R pada teori kognitivisme adalah sebagai berikut:
S ——-> Perubahan internal tiap individu
R ——-> Respons
JENIS-JENIS TEORI BELAJAR KOGNITIFISME
Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.
Teori Perkembangan Jean Piaget
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli biologi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin bertambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau mengadakan penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Yang merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu mengalami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah.
Dalam usahanya memahami mekanisme perkembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya adalah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari sensomotorik, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Gredler, 1991:311).
Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahapan umur.
Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988).
Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.
Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pendidikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan pembelajar. Dalam Perkembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak dan kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).
Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna. Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pembelajar.
Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dll. Kedua, memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit dan contoh kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN TEORI BRUNER DAN AUSUBEL
Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya penemuan sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasikan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar bermakna dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya merupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana sesuatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus dihubungkan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif.
Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.
APLIKASI PRINSIP KOGNITIVISME DALAM PEMBELAJARAN
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.
PERBEDAAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME
Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur kognitif tertentu.
Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang apa yang dihadapi sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987).
Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar diharapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perhatian pembelajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).