Sabtu, 08 April 2017

Pembelajaran Kognitif

                                                                 


                                                                                  DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti menge­tahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan penge­tahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap peri­laku mental yang berkaitan dengan pemaham­an, pertimbangan, pengolahan infor­masi, pe­mecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (ke­hendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut  beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar me­nurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses ber­pikir yang sangat kompleks. Yang menjadi priori­tas perhatian adalah pada proses bagai­mana suatu ilmu yang baru bisa ber­asimi­lasi dengan ilmu yang sebelumnya di­kuasai oleh masing-masing individu.
Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses  pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan ber­fikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991).
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar ber­makna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri se­se­orang me­lalui proses interaksi dengan lingkung­an yang ber­ke­sinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang meng­alir serta sambung-menyambung, dan me­nyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi meng­gabungkan kata, kalimat atau paragraf yang di­serap dalam pikiran dan ke­semuanya itu menjadi satu, mengalir total se­cara ber­sama­an.
Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan  S –  R yang bersifat superfisial, kogni­tivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang di­tentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya.
Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pe­mahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Mem­bagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara ter­pisah adalah sama dengan kehilangan se­suatu yang penting.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infor­masi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, men­cakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasar­kan pengalaman-pengalaman sebelum­nya.
Jadi hubungan S – R pada teori kognitivisme adalah sebagai berikut:
S ——-> Perubahan internal tiap individu
R ——-> Respons

JENIS-JENIS TEORI  BELAJAR  KOGNITIFISME
Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.

Teori Perkembangan Jean Piaget
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psiko­logi kogni­tif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli bio­logi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku ber­mutu, yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut Piaget perkembangan kognitif me­rupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin ber­tambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan ling­kungannya dan akan menyebabkan adanya pe­rubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima infor­masi atau pengalaman baru maka informasi ter­sebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini di­sebut asimilasi. Se­baliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan infor­masi yang di­terima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimi­lasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau di­alaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apa­bila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ke­tidak seimbangan kog­nitif pada diri maha­siswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kogni­tifnya yang telah ada.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui ber­dasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kog­nitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau meng­adakan penalaran). Untuk lebih jelas­nya dapat dilihat  perkembangan individu  ter­sebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan  ranah kog­nitif yang ter­jadi pada  usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni per­kembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni per­kembang­an ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kog­nitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Yang merupakan titik pusat teori Perkembang­an Kognitif Piaget ialah bagaimana individu meng­alami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah ke­per­cayaan bahwa pengetahuan di­bentuk oleh indi­vidu dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah.
Dalam usahanya memahami mekanisme per­kembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiga­nya ada­lah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam inter­aksi dengan lingkungan (asimilasi, akomo­dasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pe­nge­tahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap per­kem­bangan (skema tindakan) mulai dari senso­motorik, pra­-opera­sional, operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asi­milasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi  (Gredler, 1991:311).
Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksana­kan karena untuk belajar mandiri diperlukan ke­mampuan kognitif yang lengkap dan kompleks dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ke­terampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum men­capai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa ada­nya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pem­berian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasar­kan tahapan umur.

Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psiko­logi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pe­mikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988).
Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh ke­budayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kog­nitif berpengaruh pada perkembangan bahasa se­se­orang, maka sebaliknya Bruner menyata­kan bahwa perkembangan bahasa besar pe­nga­ruh­nya ter­hadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi se­se­orang terjadi melalui tiga tahap yang di­tentu­kan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana indi­vidu melakukan aktivitas-aktivitas untuk me­mahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak di­pengaruhi bahasa dan logika; komunikasi di­lakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol se­se­orang.
Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, per­kem­bangan kog­nitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan di­pe­la­jari dan me­nyajikannya sesuai dengan tingkat per­­kem­bangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pen­didikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang ber­tingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat per­kembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ke­tidak­ter­gantungan individu terhadap stimulus yang di­berikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan intelektual meliputi peningkat­an kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk me­ngem­bang­kan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sis­tematik antara pengajar dan pem­be­lajar. Dalam Per­­kembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin me­ning­kat­ pula ke­mam­pu­an untuk memikirkan be­be­rapa alter­natif secara serentak dan kemampuan untuk mem­berikan per­hati­an ter­hadap bebe­rapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin di­hindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Se­lanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mem­punyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan pro­sedur yang harus dipahami sebelum sese­orang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah me­mahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).

Teori Belajar Bermakna David Ausubel 
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psiko­logi kognitif, dan dalam teorinya memberi pe­nekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasi­fikasikan ke dalam dua dimensi: (1) ber­hubung­an dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui eks­pository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagai­mana siswa dapat mengaitkan data atau infor­masi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekan­kan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu di­hafal se­cara arbitrari, padahal belajar seharus­nya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asi­mi­lasi bermakna, materi yang di­pelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan di­pilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahu­an pem­belajar; dan b) suatu situasi belajar yang ber­makna. Faktor motivasional memegang pe­ran­an yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apa­bila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apa­bila dipakai dapat me­ning­kat­kan ke­mampuan pembelajar untuk mem­pelajari infor­masi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka ber­bentuk abstraksi atau ringkas­an-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus di­pe­la­jari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pem­belajar.
Dalam proses belajar mengajar, seorang peng­ajar dapat menerapkan prinsip belajar ber­makna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai beri­kut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kog­nisi) melalui tes awal, interview, review, per­tanyaan dll. Ke­dua, memilih materi, mengatur­nya dan me­nyajikan konsep-konsep inti, di­mulai dari contoh konkrit dan contoh kon­tro­versial. Ke­tiga, meng­identifikasi prinsip-prinsip yang harus di­ketahui dari materi baru dan me­nyajikan suatu pan­dangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organi­zers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN TEORI BRUNER DAN AUSUBEL
Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausu­bel adalah Teori Bruner menekankan adanya pe­nemuan sedangkan Ausubel menekankan ada­nya materi yang disajikan dan dapat di­inter­na­li­sasi­kan oleh pembelajar. Sedangkan per­sama­annya adalah keduanya menekankan be­la­jar bermakna dan pemahaman, meskipun me­nurut Bruner hal ter­sebut harus ditemukan se­cara induktif. Namun me­nurut Ausubel hal ter­sebut dapat diasimilasi se­cara deduktif; yakni belajar tidak hanya me­rupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana se­suatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana me­nemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus di­hubung­kan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif.
Keduanya menekankan pentingnya mem­pe­la­jari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.

APLIKASI PRINSIP KOGNITIVISME  DALAM PEMBELAJARAN
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi di­definisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan sese­orang ketika meng­inte­grasikan unsur-unsur pe­ngetahuan yang ter­pisah-pisah ke dalam suatu unit konsep­tual. Proses ingatan merupakan pe­ngelolaan infor­masi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyim­panan informasi (stro­rage), dan kemu­dian mengungkapkan kembali informasi-infor­masi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Infor­mation Processing Model” yang men­des­kripsikan: proses penyandian informasi, proses pe­nyimpanan infor­masi, dan proses peng­ung­kapan kembali suatu infor­masi atau pe­nge­tahuan dari kon­sepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini se­makin men­dominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psiko­logi pendidikan atau pem­belajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transfor­ma­si-transformasi informasi dimulai dari input (masuk­an) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) be­rupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan se­lanjut­nya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pe­ngelolaan informasi yang berasal dari stimu­lus eksternal, Bruner menyampaikan tahap ter­sebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan me­nurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau pe­ne­ri­maan informasi), (2) Storage (tahap pe­nyim­pangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap me­nyampaikan kembali infor­masi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami se­suatu apabila pelajaran ter­sebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pe­ngertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pem­belajar harus diperhatikan.

PERBEDAAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME
Proses belajar menurut behaviorisme merupa­kan suatu mekanisme yang periferik dan ter­letak jauh dari otak, sedangkan menurut  kogni­tivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur kognitif tertentu.
Menurut teori Behaviorisme, belajar merupa­kan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang di­jumpai dengan apa yang pernah dijumpai se­belumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekan­kan adanya pemahaman tentang apa yang di­hadapi seka­rang dengan yang telah dijumpai sebelum­nya. Para pakar psikologi kognitif me­lihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingat­an, yakni merupakan fungsi mental yang me­nangkap informasi dari stimulus, dan merupa­kan storage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987).
Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pem­belajar di­harapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mem­pe­nga­ruhi perhatian pem­belajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharus­nya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau meng­ingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar