Minggu, 09 April 2017

Observasi pendidikan kel.5

PSIKOLOGI PENDIDIKAN
LAPORAN OBSERVASI ‘MANAJEMEN KELAS’
                   

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
Reyhan Ahmad Lubis 161301079
Abdul Hafiz 161301081
Ianita Perangin-Angin 161301094
Rizka Dwi Saputri 161301098
Miranda S. 161301099
Nada Pertiwi 161301149
Nashiha Syifa Alsakina 161301154

Fakultas Psikologi
Universitas Sumtera Utara
Medan
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
1.1. Identititas Sekolah
Nama Sekolah : SMA Dharma Pancasila Medan
Alamat : Jalan Dr.T. Mansyur No.71-C. Medan, Kec. Medan Selayang,
Kel. Padang Bulan Selayang I, 20131
1.2. Uraian Aktifitas Observasi
Jadwal Observasi : Sabtu, 1 April 2017
Waktu Observasi : 08.00-09.00
Objek Observasi : Kelas XI MIA 1 dan XI MIA 2
2. Latar Belakang
     Lingkungan pembelajaran yang baik harus dibarengi dengan pengelolaan kelas dan iklim belajar yang baik, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah. Untuk menciptakan pengelolaan yang baik, kita terlebih dahulu memahami apa arti manajemen kelas, prinsip dasar mengelola kelas, permasalahan dalam kelas, kondisi, penciptaan iklim pembelajaran dan kondisi-kondisi dalam kelas. Semua itu harus dipahami oleh guru agar pengelolaan kelas bukan hanya mengurusi tentang saran prasarana kelas saja tetapi kondisi psikologis dari siswa.
     Dalam pengelolaan kelas, efektif atau tidak pelaksanaannya sangat tergantung pada sikap guru dalam memahami berbagai aspek dalam pelaksanaannya. Beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian guru yaitu aspek sifat kelas dan situasi kelas yang dapat menentukan bentuk dan metode pendekatan yang sesuai dalam proses pembelajaran serta tindakan efektif keratif dari guru sangat menentukan jalannya kegiatan pengelolaan kelas. Selain itu, guru juga harus paham tentang tujuan dari pengelolaan kelas itu sendiri sehingga proses pembelajaran akan lebih terarah pada suatu tujuan yang telah direncanakan.
     Pembelajaran juga harus memuat pendidikan karakter. Yaitu pada saat pembelajaran seorang guru juga harus memasukkan pendidikan karakter dalam pembelajaran, agar siswa sudah terbiasa dengan kebiasaan yang baik dan memuat karakter bangsa.
     Kelengkapan sarana prasarana sekolah juga merupakan hal penting yang memerlukan pengeloaan. Sarana prasarana tersebut juga mempengaruhi kondisi belajara siswa, sehingga dalam jelas tersebut juga harus melakukan pembaharauan, baik itu penataan, perubahan bahkan penambahan fasilitas, agar siswa tidak cepat bosan.
     Berhasilnya manajemen kelas dalam memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan pembelajaran yang akan dicapai, banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut melekat pada kondisi fisik kelas dan pendukungnya, juga dipengaruhi oleh faktor non fisik (sosio-emosional) yang melekat pada guru. Lingkungan fisik tempat belajar mempunyai pengaruh penting terhadap hasil pembelajaran. Kondisi atau iklim memberikan pengaruh terhadap efektivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan sebaliknya juga akan mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar anak serta perkembangan pendidikan peserta didik.
3. Rumusan Masalah
a) Apakah manajemen ruang kelas sudah tertata dengan baik dan kondusif?
b) Bagaimana kondisi ruang kelas ketika Kegiatan Belajar Mengajar?
c) Apakah gaya pengajaran yang diberikan sudah memberikan cukup motivasi untuk belajar para Siswa?
4. Tujuan Observasi
a) Untuk mengetahui manajemen kelas yang sudah cukup kondusif
b) Untuk mengetahui kondisi ruang kelas ketika KBM berlangsung
c) Untuk mengetahui sejauh mana gaya pengajaran di SMA DHARMA PANCASILA
5. Manfaat Observasi
a) Menambah wawasan akan manajemen kelas
b) Memberikan pengalaman tersendiri setelah melakukan Observasi di SMA DHARMA PANCASILA


BAB II
LANDASAN TEORI
a. Pengertian Manajemen Kelas
     Istilah manajemen telah lahir dan diartikan oleh berbagai pihak dengan perspektif yang berbeda, misalnya pengelolaan, pembinaan, pengurusan, ketatalaksanaan, kepemimpinan, pemimpin, dan lain sebagainya. Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda sesuai dengan latar belakang pekerjaan mereka. Manajemen sebagai sebuah istilah yang sering dipakai di dunia bisnis pada dasarnya juga dipakai untuk organisasi pendidikan pada umumnya. Berikut pengertian manajemen menurut para ahli:
M. Sobry Sutikno menyimpulkan bahwa “manajemen adalah serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan mengembangkan segala upaya di dalam mengatur dan memberdayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan organisasi”.
John. D Millet dalam Pengantar Manajemen karangan dari H.B. Siswanto membatasi manajemen adalah suatu proses pengarahan dan pemberian fasilitas kerja kepada orang yang diorganisasikan dalam kelompok formal untuk mencapai tujuan. sedangkan James A.F Stoner dan Charles Wankel memberikan batasan manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya organisasi lainnya demi terwujudnya tujuan organisai.2 Selanjutnya adapun pengertian kelas memiliki dua pengertian yaitu:
o Kelas dalam arti sempit yaitu ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses pembelajaran.
o Kelas dalam arti luas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah yang sebagai kesatuan diorganisir menjadi unit kerja secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai tujuan. 3Sedangkan pengertian dari ruang kelas adalah kondisi fisik kelas yang akan digunakan oleh guru bersama dengan siswanya dalam aktifitas pembelajaran.
Dari pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa manajemen secara umum adalah serangkaian proses pengarahan, perencanaan dan pengendalian terhadap suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Dengan demikian manajemen kelas merupakan suatu perangkat prilaku penyelenggaraan proses belajar mengajar agar sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar dan efesien di lingkungan kelas.
Pengertian manajemen kelas Menurut Emmer yang dikutif dalam buku “Sekolah Efektif dan Guru Efektif” yang ditulis oleh Hasri Salfen mendefinisikan “manajemen kelas sebagai perangkat perilaku dan kegiatan guru yang diarahkan untuk menarik perilaku siswa yang wajar, pantas, dan layak serta usaha dalam meminimalkan gangguan.” Sedangkan Duke menyatakan “Manajemen kelas adalah ketentuan dan prosedur yang diperlukan guna menciptakan dan memelihara lingkungan tempat terjadi kegiatan belajar dan mengajar.”
J.M Cooper mengemukakan lima pengelompokan definisi manajemen kelas yaitu:
o Seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas sebagai pandangan dalam mengontrol tingkah laku.
o Seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa sebagai pandangan yang bersifat permisif kaitannya dengan tugas guru dalam memaksimalkan kebebasan siswa.
o Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diingingkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan.
o Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosioemosional kelas yang positif sebagai pandangan hubungan kegiatan interaksi belajar mengajar guru dengan siswa.
o Seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan organisasi yang efektif.

b. Tujuan Manajemen Kelas
     Manajemen kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara situasi kondisi belajar yang optimal dan mengembalikan bila terjadi gangguan belajar dari siswa dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain manajemen kelas merupakan kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang optimal dalam proses belajar mengajar. Manajemen kelas bagi guru perlu dikuasai dan diterapkan dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Manajemen kelas adalah seperangkat kegiatan untuk mengembangkan tingkalaku siswa yang tidak diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkalaku yang tidak diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal, iklim sosio emosional yang positing serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.
     Tujuan pengelolaan atau menurut Sudirman penyediaan fasilitas bagi macam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja. Sedangkan Arikunto berpendapat bahwa tujuan pengelolaan atau manajemen kelas adalah agar setiap anak di kelas dapat bekerja dengan tertib sehingga segera tercapai tujuan pengajaran secara efektif dan efesien.

BAB III
HASIL PENGAMATAN
Bagaimana proses ujian menghafal proses reproduksi pada mata pelajaran di kelas XI MIA 1
Para murid lancar dalam mengingat apa yang telah mereka hafalkan
Sambil menunggu giliran atau selesai ujian menghafal, beberapa murid ada yang mengobrol
Para murid tampak antusias dengan mata pelajaran biologi
Guru mengoreksi jika ada istilah atau hafalan yang kurang tepat
Guru dapat mencairkan suasana kelas yang sebelumnya cukup tegang
Ada seorang murid yang dites oleh guru, kemudian direspon positif oleh murid lainnya
Walaupun suasana penuh canda tawa, namun murid-murid tetap menghargai guru tersebut.

BAB IV
PEMBAHASAN
Bagaimana proses ujian menghafal proses reproduksi pada mata pelajaran di kelas XI MIA 1

  Saat kami menobservasi kelas XI MIA 1, mata pelajaran yang sedang berlangsung adalah biologi. Sebelumnya, bapak guru tersebut telah menugaskan murid-muridnya untuk menghafal salah satu subbab dari materi reproduksi. Satu persatu murid dipanggil oleh bapak guru sesuai dengan urutan absen kelas mereka. Bapak guru tersebut berdiri di dekat meja guru sambil memegang buku nilai sambil mengamati muridnya yang sedang menghafal. Pada hari itu, hanya setengah murid dari satu kelas yang maju ke depan untuk tugas menghafal, karena pada hari sebelumnya sebagian dari mereka sudah melakukan tugas menghafal.
Para murid lancar dalam mengingat apa yang telah mereka hafalkan
     Hafalan yang ditugaskan cukup rumit karena terdapat istilah-istilah yang sulit untuk diucapkan. Namun para murid dapat menghafalnya dengan baik dan lancar, tanpa membawa kertas kecil sebagai bantuan menghafal. Walaupun ada beberapa kesalahan dalam pengucapan suatu istilah, bapak guru dapat langsung mengoreksi sehingga dapat dilanjutkan oleh murid-murid. Bapak guru terlihat cukup puas dengan hafalan murid-muridnya yang terlihat lancar.
Sambil menunggu giliran atau selesai tugas menghafal, beberapa murid ada yang terlihat mengobrol.

     Walaupun sedang diadakan kelas dan ada guru yang berada di dalam kelas, ada juga beberapa murid yang terlihat mengobrol dengan teman sebangkunya atapun teman di dekat mereka. Karena mereka merasa sudah selesai dan lega dengan tugas menghafal sebelumnya, jadi mereka langsung mengobrol tanpa memperhatikan temannya yang sedang menghafal. Terutama murid laki-laki yang berada di barisan paling belakang kelas. Namun ada juga murid yang sudah selesai melakukan tugas dan tetap memperhatikan temannya yang sedang berada di depan.
Para murid tampak antusias dengan mata pelajaran biologi
     Dilihat dari cara mereka menghafal dengan baik, serta didukung dengan guru yang ramah dan menyenangkan, murid-murid tampak antusias dengan kelas biologi tersebut. Mereka tampak memperhatikan dengan serius apa yang dijelaskan bapak guru disela-sela jeda sebelum murid lainnya maju ke depan. Bahkan tampak ada dua murid laki-laki yang berebut untuk maju ke depan, padahal bukan nama salah satu murid tersebut yang dipanggil, sehingga membuat suasana kelas menjadi canda tawa namun tetap kondusif.
Guru dapat mencairkan suasana kelas yang sebelumnya cukup tegang

     Saat sesi menghafal selesai, bapak guru menjelaskan sedikit materi reproduksi sambil diselingi candaan agar membuat murid-muridnya menjadi rileks setelah lama menghafal materi yang ditugaskan. Bahkan kamipun ikut tertawa dengan candaan bapak guru tersebut. Bapak guru tetap bisa mengkondisikan kelas menjadi kondusif dikala anak muridnya sedang tertawa geli mendengar candaannya tersebut. Bapak guru tersebut dapat mengetahui keadaan kelas yang sebelumnya tegang dan sunyi serta tidak ingin membuat murid-muridnya larut dalam suasana kelas seperti itu
Ada seorang murid yang dites oleh guru, kemudian direspon positif oleh murid lainnya
     Setelah bapak guru selesai menjelaskan sedikit materi, bapak guru bertanya kepada salah seorang siswa di barisan depan ujung kelas untuk menguji kemampuan anak tersebut, karena menurut bapak guru siswa tersebut hanya melamun sedaritadi. Ketika diberi pertanyaan, siswa tersebut dapat menjawab semua pertanyaan bapak guru dengan tepat dan diebri sorakan gembira teman-temannya. Walaupun ada pengucapan yang salah atau terbalik, bapak guru tetap mengoreksi jawaban murid tersebut. Siswa tersebut diiringi tepukan meriah teman-temannya yang membuat suasana kelas menjadi gembira dan tidak terlihat membosankan.
Walaupun suasana penuh canda tawa, namun murid-murid tetap menghargai guru tersebut
     Bapak guru tersebut memiliki pembawaan yang menyenangkan dan selalu tersenyum, sehingga murid-murid sangat menyenangi guru tersebut. Bapak guru bisa membuat kelas menjadi ceria, tidak membosankan, dan tidak membuat murid-muirdnya takut kepada guru tersebut. Walaupun guru tersebut bersikap demikian, murid-muridnya tetap menghargai bapak guru dengan tidak mengoloknya ataupun bersikap tidak sopan padanya. Apalagi bapak guru terlihat masih cukup muda dan dapat bergaul dengan murid-muridnya dengan mudah, sehingga ini menjadi nilai tambah bagi bapak guru yang tetap bisa mengontrol kelas dengan baik, sembari murid-muridnya tetap bersikap sopan pada bapak guru. Membuat bapak guru semakin disenangi oleh murid-muridnya.
Bapak guru memberikan tugas di akhir kelas
     Setelah semua murid selesai dengan tugas menghafal mereka, bapak guru memberikan tugas tambahan untuk setiap kelompok membuat kumpulan soal beserta jawabannya berdasarkan soal Ujian Nasioonal SMA tahun 2015 dan 2016. Tugas tersebut bapak guru berikan agar murid-muridnya bisa menambah pengetahuan mereka di mata pelajaran biologi, ditambah agar mereka bisa menghadapi Ujian Akhir Semester yang tidak lama lagi akan diadakan di sekolah mereka.


Testimoni perkuliahan

Testimoni dalam mata kuliah psi.pendidikan

Menurut saya selama perkuliahan pendidikan sih ya termasuk enak,karna dosen juga enjoy mengajar nya,have fun,tidak terlalu membosankan sehingga tidak mengantuk ketika menjalani pembelajaran dalam mata kuliah ini,kepada ibu dosen,keren deh,saya suka,apalagi ketika observasi,itu termasuk salah satu kegiatan yang seru menurut saya karna saya suka dengan sesuatu yg langsung turun ke lapangan,ibarat nya praktik la,karna ya menurut dari diri saya sendiri,belajar dengan praktik atau kerja secara langsung itu lebih efisien dan lebih gampang untik dimngerti,pokoknya mantep la buat pelajaran iniđź‘Ť

Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa

Pengertian bahasa
Bahasa adalah sebentuk komunikasi,entah itu lisan,tertulis atau tanda,yang didasarkan pada sistem simbol.

Perkembangan Semantik
adalah makna dari kata atau kalimat. Setiap kata punya ciri semantik. Misalnya, gadis dan wanita punya makna semantik yang sama,yakni manusia berjenis kelamin perempuan,tetapi berbeda dalam makna umurnya.

Perkembangan Sintaksis
Adalah cara kata dikombinasikan untuk membentuk frasa dan kalimat yang bisa diterima.

Perkembangan Morfologi
adalah aturan untuk mengkombinasikan morfem,yang merupakan rangkaian suara yang merupakan kesatuan bahasa terkecil.setiap kata dari bahasa inggris terdiri dari 2 morfem

Perkembangan Fonologi
adalag sistem suara bahasa.aturan fonologi mengijinkan beberapa sekuensi(seperti sp,ba,atau ar)dan melarang yang lain nya(seperti zx atau qp).untuk mempelajari fonologi bahasa,anak harus mempelajari kandungan suara dan urutan suara yang diperbolehkan yang sangat penting untuk kegiatan membaca nanti(oller, 2000).


Ada dua faktor paling signifikan yang mempengaruhi anak dalam berbahasa, yaitu  biologis dan lingkungan sekitar.

Evolusi Biologi
Evolusi biologis menjadi salah satu landasan  perkembangan bahasa. Mereka menyakini bahwa evolusi biologi membentuk manusia menjadi manusia linguistik. Noam Chomsky (1957) meyakini bahwa  manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Ia menegaskan bahwa setiap anak mempunyai language acquisition device (LAD), yaitu kemampuan alamiah anak untuk berbahasa. Tahun-tahun awal masa anak-anak merupakan periode yang penting untuk belajar bahasa (critical-period). Jika pengenalan bahasa tidak terjadi sebelum masa remaja, maka ketidakmampuan dalam menggunakan tata bahasa yang baik akan dialami seumur hidup. Selain itu, adanya periode penting dalam mempelajari bahasa  bisa dibuktikan salah satunya dari aksen orang dalam berbicara. Menurut teori ini, jika orang berimigrasi setelah berusia 12 tahun kemungkinan akan berbicara bahasa negara yang baru dengan aksen asing pada sisa hidupnya, tetapi kalau orang berimigrasi sebagai anak kecil, aksen akan hilang ketika bahasa baru akan dipelajari (Asher & Gracia, 1969).


Lingkungan Luar
Sementara itu, di sisi lain proses penguasaan bahasa tergantung dari stimulus dari lingkungan. Pada umumnya, anak diperkenalkan bahasa sejak awal perkembangan mereka, salah satunya disebut motherse, yaitu cara ibu atau orang dewasa, anak belajar bahasa melalui proses imitasi dan perulangan dari orang-orangdisekitarnya.

Sabtu, 08 April 2017

Resume intelegensi Pendidikan

Intelegensi

Pengertian Integensi
Intelegensi adalah berasal dari kata Latin yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan, atau menyatukan satu dengan yang lain. Istilah intelegensi kadang-kadang sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli, intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Intelegensi juga berarti sesuatu perbuatan, aktivitas atau reaksi, baik di bidang mental maupun di bidang fisik.

Thorndike sebagai tokoh koneksionisme mengemukakan bahwa orang dianggap intelegen apabila responsnya merupakan respons yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya. Untuk memberikan respons yang tepat, individu harus memiliki lebih banyak hubungan stimulus-respons, dan hal tersebut dapat diperoleh dari hasil pengalaman yang diperoleh dan hasil respons-respons yang lalu.

Macam-macam Intelegensi
Intelegensi menurut hasil dan arahnya, intelegensi ada 2 macam:
Intelegensi praktis, ialah intelegensi untuk dapat mengatasi suatu yang sulit dalam sesuatu kerja, yang berlangsung secara cepat dan tepat.
Intelegensi teoritis, ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu fikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi
Faktor pembawaan
Ialah segala kesanggupan kita yang telah kita bawa sejak lahir, dan yang tidak sama pada orang lain.
Faktor Kemasakan
Ialah saat munculnya sesuatu daya jiwa kita yang kemudian berkembang dan mencapai saat puncaknya.
Faktor Pembentukan
Ialah segala faktor luar yang mempengaruhi intelegensi di masa perkembangannya.
Faktor minat
Faktor inilah yang merupakan motor penggerak dari intelegensi kita.

Teori-teori Faktor
Dari pendapat-pendapat para ahli tentang intelegensi, di dalam intelegensi terdapat adanya faktor-faktor tertentu yang membentuk intelegensi, inilah makna dari teori faktor.
Thorndike, dengan multi faktornya mengemukakan bahwa intelegensi tersusun dari beberapa faktor, dan faktor-faktor itu terdiri dari elemen-elemen, dan tiap elemen-elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap atom merupakan hubungan stimulus-respons, Jadi suatu aktivitas yang menyangkut intelegensi adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan lainnya.
Spearman mengemukakan bahwa intelegensi mengandung dua macam faktor, yaitu:
a.       General ability atau general factor (faktor G)
                factor terdapat pada semua individu tetapi berbeda satu sama lain. General factor selalu didapati dalam setiap performance.
b.      Special ability atau special factor (faktor S)
           Special ability adalah merupakan faktor yang bersifat khusus, yaitu mengenai bidang-bidang tertentu. Dengan demikian maka jumlah faktor S itu banyak, misalnya ada S1, S2, S3 dan seterusnya. Jadi kalau pada seseorang faktor S dalam bidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang tersebut.
Dapat dikemukakan bahwa menurut Spearman, tiap-tiap performance selalu ada faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan: P=G+S
Burt, memiliki pandangan yang berbeda, namun dekat dengan pandangan Spearman. Burt mengemukakan bahwa di samping general ability dan special ability masih terdapat faktor lain, yaitu common ability atau common factor atau group factor. Common factor adalah merupakan faktor sesuatu kelompok kemampuan tertentu, misalnya dalam hal bahasa, dalam hal matematika. Dengan demikian menurut burt, intelegensi ada 3 macam faktor, yaitu faktor G, faktor S dan faktor C, dan faktor-faktor itu akan tampak dalam performance individu. Jadi performance individu dapat digambarkan:
P1=G+S1+Cx              Cx  = misalnya common factor berhitung
P2=G+S2+ Cx              
P3=G+S3+ Cx                 Cx = misalnya common bahasa
4. Thurstone, mengemukakan bahwa intelegensi merupakan jumlah dari elemen-elemen, yaitu hubungan stimulus-respons, dan menurut Thurstone dalam intelegensi adanya faktor-faktor primer itu adalah:
1)                  S   (Spatial relation), kemampuan untuk melihat gambar dengan dua atau tiga dimensi, menyangkut jarak
2)                  P (perceptual speed), kemampuan yang berkaitan dengan kecepatan dan ketetapan dalam memberikan judging mengenai persamaan dan perbedaan dalam respons terhadap apa yang dilihat.
3)                  V (Verbal comprehension), kemampuan yang menyangkut pemahaman kosakata, analogi secara verbal, dan sejenisnya.
4)                  W (Word fluency), kemampuan yang menyangkut kecepatan yang berkaitan dengan kata-kata
5)                  N (Number facility), kemampuan yang berkaitan dengan kecepatan atau ketetapan dalam berhitung
6)                  I (induction), kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh prinsip atau hukum.

Teori orientasi proses
Teori ini mendasarkan atas orientasi bagaimana proses intelektual dalam pemecahan masalah.
Jean Piager merupakan salah satu seseorang yang mendukung teori ini. Namun, Jean melihat perkembangan dari intelectual ability dengan pengertian kognitif.
Teori proses informasi mengenai intelegensi mengemukakan bahwa intelegensi akan diukir dari fungsi-fungsi seperti proses sensoris, koding ingatan, dan kemampuan mental yang lain termasuk belajar dan menimbulkan kembali.

Pengungkapan Intelegensi
Karena berbeda dalam segi intelegensinya, maka individu satu dengan lainnya tidak sama kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Mengenai perbedaan intelegensi ini ada pandangan yang menekankan pada perbedaan kuantitatif.
            Pandangan yang pertama berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan lainnya memang secara kualitatif berbeda. Pandangan kedua menitikberatkan pada perbedaan kuantitatif, yang berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan lainnya karena perbedaan materi yang diterima atau karena perbedaan dalam proses belajarnya. Perbedaan dalam proses belajar akan membawa dalam segi intelegensinya.
            Baik pandangan satu maupun kedua, kedua-duanya mengakui bahwa individu satu dengan lainnya berbeda dalam segi intelegensinya.
            Binet telah menciptakan test intelegensi, maka test intelegensi tersebut berkembang dengan pesatnya. Test intelegensi tersebut pertama kali disusun tahun 1905, yang kemudian mendapatkan bermacam-macam revisi baik dari bint sendiri maupun orang lain.
            Dalam tahun 1939 David Wechsler menciptakan individual intelligence test, yang dikenal dengan Wechsler Bellevue Intelligence Scale  atau juga dikenal dengan imtelligence W.B. Dalam tahun 1949 diciptakan test intelligence WISC untuk anak-anak. Klasifikasi IQ-Nya adalah
                        Very superior              : IQ di atas 130
                        Superior                       : IQ 120-129
                        Bright normal              : IQ 110-119
                        Average                       : IQ 90-109
                        Dull normal                 : IQ 80-89
                        Borderline                   : IQ 70-79
                        Mental defective         : IQ 69 dan ke bawah

Pembelajaran Kognitif

                                                                 


                                                                                  DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti menge­tahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan penge­tahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap peri­laku mental yang berkaitan dengan pemaham­an, pertimbangan, pengolahan infor­masi, pe­mecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (ke­hendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut  beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar me­nurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses ber­pikir yang sangat kompleks. Yang menjadi priori­tas perhatian adalah pada proses bagai­mana suatu ilmu yang baru bisa ber­asimi­lasi dengan ilmu yang sebelumnya di­kuasai oleh masing-masing individu.
Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses  pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan ber­fikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991).
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar ber­makna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri se­se­orang me­lalui proses interaksi dengan lingkung­an yang ber­ke­sinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang meng­alir serta sambung-menyambung, dan me­nyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi meng­gabungkan kata, kalimat atau paragraf yang di­serap dalam pikiran dan ke­semuanya itu menjadi satu, mengalir total se­cara ber­sama­an.
Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan  S –  R yang bersifat superfisial, kogni­tivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang di­tentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya.
Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pe­mahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Mem­bagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara ter­pisah adalah sama dengan kehilangan se­suatu yang penting.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infor­masi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, men­cakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasar­kan pengalaman-pengalaman sebelum­nya.
Jadi hubungan S – R pada teori kognitivisme adalah sebagai berikut:
S ——-> Perubahan internal tiap individu
R ——-> Respons

JENIS-JENIS TEORI  BELAJAR  KOGNITIFISME
Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.

Teori Perkembangan Jean Piaget
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psiko­logi kogni­tif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli bio­logi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku ber­mutu, yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut Piaget perkembangan kognitif me­rupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin ber­tambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan ling­kungannya dan akan menyebabkan adanya pe­rubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima infor­masi atau pengalaman baru maka informasi ter­sebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini di­sebut asimilasi. Se­baliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan infor­masi yang di­terima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimi­lasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau di­alaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apa­bila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ke­tidak seimbangan kog­nitif pada diri maha­siswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kogni­tifnya yang telah ada.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui ber­dasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kog­nitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau meng­adakan penalaran). Untuk lebih jelas­nya dapat dilihat  perkembangan individu  ter­sebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan  ranah kog­nitif yang ter­jadi pada  usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni per­kembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni per­kembang­an ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kog­nitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Yang merupakan titik pusat teori Perkembang­an Kognitif Piaget ialah bagaimana individu meng­alami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah ke­per­cayaan bahwa pengetahuan di­bentuk oleh indi­vidu dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah.
Dalam usahanya memahami mekanisme per­kembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiga­nya ada­lah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam inter­aksi dengan lingkungan (asimilasi, akomo­dasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pe­nge­tahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap per­kem­bangan (skema tindakan) mulai dari senso­motorik, pra­-opera­sional, operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asi­milasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi  (Gredler, 1991:311).
Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksana­kan karena untuk belajar mandiri diperlukan ke­mampuan kognitif yang lengkap dan kompleks dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ke­terampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum men­capai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa ada­nya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pem­berian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasar­kan tahapan umur.

Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psiko­logi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pe­mikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988).
Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh ke­budayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kog­nitif berpengaruh pada perkembangan bahasa se­se­orang, maka sebaliknya Bruner menyata­kan bahwa perkembangan bahasa besar pe­nga­ruh­nya ter­hadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi se­se­orang terjadi melalui tiga tahap yang di­tentu­kan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana indi­vidu melakukan aktivitas-aktivitas untuk me­mahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak di­pengaruhi bahasa dan logika; komunikasi di­lakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol se­se­orang.
Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, per­kem­bangan kog­nitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan di­pe­la­jari dan me­nyajikannya sesuai dengan tingkat per­­kem­bangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pen­didikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang ber­tingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat per­kembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ke­tidak­ter­gantungan individu terhadap stimulus yang di­berikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan intelektual meliputi peningkat­an kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk me­ngem­bang­kan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sis­tematik antara pengajar dan pem­be­lajar. Dalam Per­­kembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin me­ning­kat­ pula ke­mam­pu­an untuk memikirkan be­be­rapa alter­natif secara serentak dan kemampuan untuk mem­berikan per­hati­an ter­hadap bebe­rapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin di­hindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Se­lanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mem­punyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan pro­sedur yang harus dipahami sebelum sese­orang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah me­mahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).

Teori Belajar Bermakna David Ausubel 
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psiko­logi kognitif, dan dalam teorinya memberi pe­nekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasi­fikasikan ke dalam dua dimensi: (1) ber­hubung­an dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui eks­pository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagai­mana siswa dapat mengaitkan data atau infor­masi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekan­kan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu di­hafal se­cara arbitrari, padahal belajar seharus­nya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asi­mi­lasi bermakna, materi yang di­pelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan di­pilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahu­an pem­belajar; dan b) suatu situasi belajar yang ber­makna. Faktor motivasional memegang pe­ran­an yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apa­bila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apa­bila dipakai dapat me­ning­kat­kan ke­mampuan pembelajar untuk mem­pelajari infor­masi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka ber­bentuk abstraksi atau ringkas­an-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus di­pe­la­jari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pem­belajar.
Dalam proses belajar mengajar, seorang peng­ajar dapat menerapkan prinsip belajar ber­makna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai beri­kut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kog­nisi) melalui tes awal, interview, review, per­tanyaan dll. Ke­dua, memilih materi, mengatur­nya dan me­nyajikan konsep-konsep inti, di­mulai dari contoh konkrit dan contoh kon­tro­versial. Ke­tiga, meng­identifikasi prinsip-prinsip yang harus di­ketahui dari materi baru dan me­nyajikan suatu pan­dangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organi­zers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN TEORI BRUNER DAN AUSUBEL
Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausu­bel adalah Teori Bruner menekankan adanya pe­nemuan sedangkan Ausubel menekankan ada­nya materi yang disajikan dan dapat di­inter­na­li­sasi­kan oleh pembelajar. Sedangkan per­sama­annya adalah keduanya menekankan be­la­jar bermakna dan pemahaman, meskipun me­nurut Bruner hal ter­sebut harus ditemukan se­cara induktif. Namun me­nurut Ausubel hal ter­sebut dapat diasimilasi se­cara deduktif; yakni belajar tidak hanya me­rupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana se­suatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana me­nemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus di­hubung­kan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif.
Keduanya menekankan pentingnya mem­pe­la­jari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.

APLIKASI PRINSIP KOGNITIVISME  DALAM PEMBELAJARAN
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi di­definisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan sese­orang ketika meng­inte­grasikan unsur-unsur pe­ngetahuan yang ter­pisah-pisah ke dalam suatu unit konsep­tual. Proses ingatan merupakan pe­ngelolaan infor­masi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyim­panan informasi (stro­rage), dan kemu­dian mengungkapkan kembali informasi-infor­masi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Infor­mation Processing Model” yang men­des­kripsikan: proses penyandian informasi, proses pe­nyimpanan infor­masi, dan proses peng­ung­kapan kembali suatu infor­masi atau pe­nge­tahuan dari kon­sepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini se­makin men­dominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psiko­logi pendidikan atau pem­belajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transfor­ma­si-transformasi informasi dimulai dari input (masuk­an) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) be­rupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan se­lanjut­nya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pe­ngelolaan informasi yang berasal dari stimu­lus eksternal, Bruner menyampaikan tahap ter­sebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan me­nurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau pe­ne­ri­maan informasi), (2) Storage (tahap pe­nyim­pangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap me­nyampaikan kembali infor­masi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami se­suatu apabila pelajaran ter­sebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pe­ngertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pem­belajar harus diperhatikan.

PERBEDAAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME
Proses belajar menurut behaviorisme merupa­kan suatu mekanisme yang periferik dan ter­letak jauh dari otak, sedangkan menurut  kogni­tivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur kognitif tertentu.
Menurut teori Behaviorisme, belajar merupa­kan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang di­jumpai dengan apa yang pernah dijumpai se­belumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekan­kan adanya pemahaman tentang apa yang di­hadapi seka­rang dengan yang telah dijumpai sebelum­nya. Para pakar psikologi kognitif me­lihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingat­an, yakni merupakan fungsi mental yang me­nangkap informasi dari stimulus, dan merupa­kan storage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987).
Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pem­belajar di­harapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mem­pe­nga­ruhi perhatian pem­belajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharus­nya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau meng­ingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).